PEMULUNG
1. Pendahuluan
Masyarakat
pemulung merupakan sebuah komunitas yang unik dan berbeda dengan masayrakat
umum lainnya. Keberadaannya mereka mungkin menjadi sebuah anomaly bagi sebagian
masyarakat yang bertanya-tanya tentang dimana tempat itnggla mereka, apa saja
yang dikerjakan, mengapa mereka ada dan sering muncul di media massa terkait
masalah-masalah seperti kebersihan lingkungan, keamanan dan ketertiban
masyarakat, hokum atau masalah sosial lainnya.
Secara
sepintas, orang dapat menemukan pemulung berkeliaran disekitar pemukiman
penduduk. Tapi fakta yang menunjukan adalah ada tempat tertentu yang terisolasi
dari pemukiman penduduk, yaitu Tempat Pembuangan Akhir Sampah (TPA). Di TPA
tersebut terdapat pemulung dalam jumlah yang sangat banyak. Fakta ini kemudian
menjadi alasan utama untuk menjadikan TPA sebagai lokasi pelaksanaan penulisan
ini.
Penulisan ini akan
menjelaskan keberadaan pemulung dimasyarakat, khususnya di DKI Jakarta serta
menjelaskan tentang perkembangan teknologi daur ulang barang bekas.
2. Definisi Pemulung
Pekerjaan pemulung sering diangggap memiliki kootasi yang negatif
oleh kebanyakan orang. Definisi dari pemulung sendiri adalah seseorang yang
mencari nafkah dengan jalan memungut barang-barang bekas, barang-barang yang
sudah tidak terpakai untuk dijual kepada pengusaha yang akan mengolahnya menjadi
suatu barang komoditas atau diolah sendiri, kemudian dijual kembali.
Dalam menjalani pekerjaannya, ada terdapat 2
jenis pemulung, yaitu pemulung menetap dan pemulung tidak menetap.
a. Pemulung Menetap
Adalah pemulung yang
bermukim digubuk-gubuk kardus, tripleks, seng, terpal dan lain sebagainya di sekitar TPA.
b. Pemulung Tidak Menetap
Adalah pemulung yang memungut sampah keliling dari gang ke gang,
jalanan, TPS (Tempat Pembuangan Sementara), pinggiran sungai dan lain
sebagainya.
Gambar 1.1 Tempat Pembuangan Akhir
Pemulung
yang menetap dikawasan TPA terbagi menjadi 2 kelompok, yaitu pemulung yang
menggantungkan hidupnya seratus persen pada kegiatan pemulungan, sedangkan
kelompok yang kedua adalah pemulung yang melaksanakan aktifitas pemulungan
setelah mereka panen atau menunggu panen palawija dikampungnya, dengan demikian
pemulung tersebut memiliki pekerjaan disektor pertanian dan pemulungan.
Beberapa alas an mengapa mereka memilih
menjadi pemulung adalah sebagai berikut :
a.
Tidak ada pilihan lain untuk mendapatkan nafkah, karena mereka
rata-rata adalah golongan orang-orang berpendidikan rendah, tidak mempunyai
keterampilan serta tidak mempunyai modal dan sulitnya mencari pekerjaan.
b.
Menunggu masa tanam panen.
c.
Terpengaruh dari kerabat yang sudah lebih dulu memulung dan
mendapatkan hasil yang cukup.
d.
Dan lain sebagainya.
Siapa pemulung? Mereka adalah orang yang mengais sampah baik muda,
tua maupun anak-anak, bahkan belakangan ini jumlah anak-anak menjadi pemulung
semakin meningkat. Hal ini disebabkan karena kemiskinan orangtua sebagai buntut
dari kondisi perekonomian yang fluktuatif, tidak stabil serta system transisi
politik yang sulit diprediksikan. Gambaran kemiskinan keluarga pemulung
merupakan refleksi menurunnya daya beli akibat efek domino perekonimian
nasional yang kurang memihak pada kelompok-kelompok rentan sperti buruh,
nelayan, pemulung dan urban poor lainnya. Anak-anak terpaksa mengikuti jejak
orangtuanya yang seharusnya waktu mereka digunakan untuk menikmati pendidikan
dibangku sekolah. Anak-anak menjadi korban kemiskinan dan mewakili kemiskinan
orangtuanya. Dalam posisi ini tidak ada opsi jangka pendek lainnya kecuali
menjadikan anak-anak sebagai pemulung.
Tabel 1.1 Jumlah Pemulung Di Jawa Barat
Kelompok Umur Pemulung
|
Jumlah (Orang)
|
Persentase (%)
|
Anak-anak (6 – 14) tahun
|
392
|
11
|
Dewasa (15 – 50) tahun
|
2.492
|
70
|
Dewasa > 50 tahun
|
676
|
19
|
Total
|
3.560
|
10
|
Hasil survey BPS, 2008.
3. Latar Belakang
Begitu
jauh dari perhatian, pemulung menjadi suatu komunitas yang terabaikan, mereka
yang sering disamakan dengan orang-orang “miskin”, yang tentu saja memiliki hak
dan kewajiban yang sama dengan setiap orang lainnya yang juga sebagai makhluk
ciptaan Tuhan. Pemulung ini lebih cenderung memiliki sikap yang kurang
perhatian terhadap dirinya sendiri, karena hidup mereka penuh kekerasan,
kelemahan fisik dan intelektual.
Bahkan
lebih daripada itu ketidakmampuan mereka untuk bersosialisasi atau
mengembangkan diri menjadi beban yang sangat besar yang mereka alami. Untuk
bisa hidup lebih baik terkadang mereka lebih memilih untuk tidak bergantung
kepada siapapun, termasuk kepada Tuhan yang mereka perjuangkan hanyalah “perut”
mereka saja tanpa harus perlu untuk mengenal siapa itu Tuhan, beribadah, dan
berdoa.
Dengan waktu yang ada para
pemulung menggunakan waktu itu untuk mencari uang bahkan secara khusus pada
hari Minggu. Dengan adanya fakta-fakta yang mengungkap sisi dari berbagai
kegiatan para pemulung diatas maka penulis membuat penulisan yang mengangkat
tema “Pemulung” sebagai tugas untuk Ujian Akhir Semester (UAS). Selain itu,
untuk menambah pemahaman tentang dunia pemulung, dengan memberikan motivasi kepada
seluruh masyarakat dalam memberdayakan komunitas urban poor atau kaum marjinal
ini, khususnya para pemulung.
4. Dampak Positif dan Negatif
Setiap
sisi dari kehidupan pasti mempunyai dampak terhadap keberlangsungannya, entah
itu positif ataupun negatif, untuk itu dalam penulisan ini juga di bahas
mengenai dampak positif dan negative dari memulung.
4.1. Dampak Positif
Dampak Positif yang
dirasakkan jika menjadi pemulung adalah sebagai berikut, yaitu :
1) Menjadi peluang usaha bagi
para pemulung yang menggantungkan hidupnya dari pemanfaatan sampah dan juga
dari keterbatasan SDM.
2) Kemudahan untuk mengangkut
hasil yang mereka cari dan kemudian dijual kepada pengusaha daur ulang yang
kemudian dijadikan barang komoditas dan bernilai jual.
3) Hasil yang mencukupi bagi
keberlangusungan hidup mereka yang serba kekurangan.
4.2. Dampak Negatif
Selain dampak positif,
pemulung juga mempunyai dampak negatif yang juga dirasakkan jika menjadi
pemulung, yaitu :
1)
Beresiko terpaparnya penyakit
Yang diakibatkan tertalu
banyak berada ditempat pembuangan sampah. Tempat seperti itu merupakan sarang
dari bibit penyakit, sehingga terjadi kontak secara langsung terhadap mereka
dan itu sangat beresiko terpapar penyakit.
2)
Ketakutan dan ketidaknyamanan
Ketakutan terhadap
penyakit yang akan menjangkit mereka, serta ketidaknyamanan untuk berada di
antara tumpukan-tumpukan sampah yang selain pembawa penyakit, juga mengeluarkan
aroma yang tidak sedap.
3)
Berbahaya dan bencana
Pemulung yang hidup diarea
pembuangan sampah, tidak menutup kemungkinan tempat tinggal mereka akan terkena
longsoran sampah, sehingga pada akhirnya pun akan memakan korban. Untuk itu
pemulung harus selalu waspada dalam kesehariannya, ini membuat mereka tidak
tenang secara psikologis.
4)
Adanya Stigma masyarakat bahwa pemulung itu kotor dan hina.
5)
Kurangnya perhatian dinas terhadap kesehatan pemulung.
6) Dan lain sebagainya.
5. Solusi
Berdasarkan rekomendasi
dari beberapa pihak terkait, penulis mengajukan solusi dari permasalahan ini :
1)
Lebih baik pemerintah meningkatkan dan memberiakan lapangan
pekerjaan serta pembinaan gratis kepada masyarakat kalangan bawah atau marjinal
ini agar mereka mendapatkan hasil penghidupan yang lebih baik yang tidak
merugikan orang lain disekitarnya.
2)
Jika masyarakat pemulung tetap bersikeras untuk menjalakan
pekerjaannya sebagai pemulung, hendaknya pemerintah mengadakan pengecekan
kesehatan beberapa waktu sekali demi kesehatan bersama.
3)
Masyarakat dan pemerintah saling bekerja sama memotivasi
masyarakat kalangan bawah ini untuk mencari kehidupan yang lebih baik. Salah
satunya memberikan program pelatihan khusus sesuai keahlian masyarakat
masing-masing.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar