Sabtu, 21 Januari 2012

Pemulung


PEMULUNG
1.    Pendahuluan
Masyarakat pemulung merupakan sebuah komunitas yang unik dan berbeda dengan masayrakat umum lainnya. Keberadaannya mereka mungkin menjadi sebuah anomaly bagi sebagian masyarakat yang bertanya-tanya tentang dimana tempat itnggla mereka, apa saja yang dikerjakan, mengapa mereka ada dan sering muncul di media massa terkait masalah-masalah seperti kebersihan lingkungan, keamanan dan ketertiban masyarakat, hokum atau masalah sosial lainnya.
Secara sepintas, orang dapat menemukan pemulung berkeliaran disekitar pemukiman penduduk. Tapi fakta yang menunjukan adalah ada tempat tertentu yang terisolasi dari pemukiman penduduk, yaitu Tempat Pembuangan Akhir Sampah (TPA). Di TPA tersebut terdapat pemulung dalam jumlah yang sangat banyak. Fakta ini kemudian menjadi alasan utama untuk menjadikan TPA sebagai lokasi pelaksanaan penulisan ini.
Penulisan ini akan menjelaskan keberadaan pemulung dimasyarakat, khususnya di DKI Jakarta serta menjelaskan tentang perkembangan teknologi daur ulang barang bekas.

2.    Definisi Pemulung
Pekerjaan pemulung sering diangggap memiliki kootasi yang negatif oleh kebanyakan orang. Definisi dari pemulung sendiri adalah seseorang yang mencari nafkah dengan jalan memungut barang-barang bekas, barang-barang yang sudah tidak terpakai untuk dijual kepada pengusaha yang akan mengolahnya menjadi suatu barang komoditas atau diolah sendiri, kemudian dijual kembali.
Dalam menjalani pekerjaannya, ada terdapat 2 jenis pemulung, yaitu pemulung menetap dan pemulung tidak menetap.
a.    Pemulung Menetap
Adalah pemulung yang bermukim digubuk-gubuk kardus, tripleks, seng, terpal dan  lain sebagainya di sekitar TPA.
b.    Pemulung Tidak Menetap
Adalah pemulung yang memungut sampah keliling dari gang ke gang, jalanan, TPS (Tempat Pembuangan Sementara), pinggiran sungai dan lain sebagainya.

Gambar 1.1 Tempat Pembuangan Akhir

Pemulung yang menetap dikawasan TPA terbagi menjadi 2 kelompok, yaitu pemulung yang menggantungkan hidupnya seratus persen pada kegiatan pemulungan, sedangkan kelompok yang kedua adalah pemulung yang melaksanakan aktifitas pemulungan setelah mereka panen atau menunggu panen palawija dikampungnya, dengan demikian pemulung tersebut memiliki pekerjaan disektor pertanian dan pemulungan.
Beberapa alas an mengapa mereka memilih menjadi pemulung adalah sebagai berikut :
a.    Tidak ada pilihan lain untuk mendapatkan nafkah, karena mereka rata-rata adalah golongan orang-orang berpendidikan rendah, tidak mempunyai keterampilan serta tidak mempunyai modal dan sulitnya mencari pekerjaan.
b.    Menunggu masa tanam panen.
c.    Terpengaruh dari kerabat yang sudah lebih dulu memulung dan mendapatkan hasil yang cukup.
d.    Dan lain sebagainya.

Siapa pemulung? Mereka adalah orang yang mengais sampah baik muda, tua maupun anak-anak, bahkan belakangan ini jumlah anak-anak menjadi pemulung semakin meningkat. Hal ini disebabkan karena kemiskinan orangtua sebagai buntut dari kondisi perekonomian yang fluktuatif, tidak stabil serta system transisi politik yang sulit diprediksikan. Gambaran kemiskinan keluarga pemulung merupakan refleksi menurunnya daya beli akibat efek domino perekonimian nasional yang kurang memihak pada kelompok-kelompok rentan sperti buruh, nelayan, pemulung dan urban poor lainnya. Anak-anak terpaksa mengikuti jejak orangtuanya yang seharusnya waktu mereka digunakan untuk menikmati pendidikan dibangku sekolah. Anak-anak menjadi korban kemiskinan dan mewakili kemiskinan orangtuanya. Dalam posisi ini tidak ada opsi jangka pendek lainnya kecuali menjadikan anak-anak sebagai pemulung.

Tabel 1.1 Jumlah Pemulung Di Jawa Barat
Kelompok Umur Pemulung
Jumlah (Orang)
Persentase (%)
Anak-anak (6 – 14) tahun
392
11
Dewasa (15 – 50) tahun
2.492
70
Dewasa > 50 tahun
676
19
Total
3.560
10
Hasil survey BPS, 2008.

3.    Latar Belakang
Begitu jauh dari perhatian, pemulung menjadi suatu komunitas yang terabaikan, mereka yang sering disamakan dengan orang-orang “miskin”, yang tentu saja memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan setiap orang lainnya yang juga sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Pemulung ini lebih cenderung memiliki sikap yang kurang perhatian terhadap dirinya sendiri, karena hidup mereka penuh kekerasan, kelemahan fisik dan intelektual.
Bahkan lebih daripada itu ketidakmampuan mereka untuk bersosialisasi atau mengembangkan diri menjadi beban yang sangat besar yang mereka alami. Untuk bisa hidup lebih baik terkadang mereka lebih memilih untuk tidak bergantung kepada siapapun, termasuk kepada Tuhan yang mereka perjuangkan hanyalah “perut” mereka saja tanpa harus perlu untuk mengenal siapa itu Tuhan, beribadah, dan berdoa.
Dengan waktu yang ada para pemulung menggunakan waktu itu untuk mencari uang bahkan secara khusus pada hari Minggu. Dengan adanya fakta-fakta yang mengungkap sisi dari berbagai kegiatan para pemulung diatas maka penulis membuat penulisan yang mengangkat tema “Pemulung” sebagai tugas untuk Ujian Akhir Semester (UAS). Selain itu, untuk menambah pemahaman tentang dunia pemulung, dengan memberikan motivasi kepada seluruh masyarakat dalam memberdayakan komunitas urban poor atau kaum marjinal ini, khususnya para pemulung.

4.    Dampak Positif dan Negatif
Setiap sisi dari kehidupan pasti mempunyai dampak terhadap keberlangsungannya, entah itu positif ataupun negatif, untuk itu dalam penulisan ini juga di bahas mengenai dampak positif dan negative dari memulung.

4.1.  Dampak Positif
Dampak Positif yang dirasakkan jika menjadi pemulung adalah sebagai berikut, yaitu :
1)    Menjadi peluang usaha bagi para pemulung yang menggantungkan hidupnya dari pemanfaatan sampah dan juga dari keterbatasan SDM.
2)    Kemudahan untuk mengangkut hasil yang mereka cari dan kemudian dijual kepada pengusaha daur ulang yang kemudian dijadikan barang komoditas dan bernilai jual.
3)    Hasil yang mencukupi bagi keberlangusungan hidup mereka yang serba kekurangan.

4.2.  Dampak Negatif
Selain dampak positif, pemulung juga mempunyai dampak negatif yang juga dirasakkan jika menjadi pemulung, yaitu :
1)    Beresiko terpaparnya penyakit
Yang diakibatkan tertalu banyak berada ditempat pembuangan sampah. Tempat seperti itu merupakan sarang dari bibit penyakit, sehingga terjadi kontak secara langsung terhadap mereka dan itu sangat beresiko terpapar penyakit.
2)    Ketakutan dan ketidaknyamanan
Ketakutan terhadap penyakit yang akan menjangkit mereka, serta ketidaknyamanan untuk berada di antara tumpukan-tumpukan sampah yang selain pembawa penyakit, juga mengeluarkan aroma yang tidak sedap.
3)    Berbahaya dan bencana
Pemulung yang hidup diarea pembuangan sampah, tidak menutup kemungkinan tempat tinggal mereka akan terkena longsoran sampah, sehingga pada akhirnya pun akan memakan korban. Untuk itu pemulung harus selalu waspada dalam kesehariannya, ini membuat mereka tidak tenang secara psikologis.
4)    Adanya Stigma masyarakat bahwa pemulung itu kotor dan hina.
5)    Kurangnya perhatian dinas terhadap kesehatan pemulung.
6)    Dan lain sebagainya.

5.    Solusi
Berdasarkan rekomendasi dari beberapa pihak terkait, penulis mengajukan solusi dari permasalahan ini :
1)    Lebih baik pemerintah meningkatkan dan memberiakan lapangan pekerjaan serta pembinaan gratis kepada masyarakat kalangan bawah atau marjinal ini agar mereka mendapatkan hasil penghidupan yang lebih baik yang tidak merugikan orang lain disekitarnya.
2)    Jika masyarakat pemulung tetap bersikeras untuk menjalakan pekerjaannya sebagai pemulung, hendaknya pemerintah mengadakan pengecekan kesehatan beberapa waktu sekali demi kesehatan bersama.
3)    Masyarakat dan pemerintah saling bekerja sama memotivasi masyarakat kalangan bawah ini untuk mencari kehidupan yang lebih baik. Salah satunya memberikan program pelatihan khusus sesuai keahlian masyarakat masing-masing.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar